Hari Kamis-Jumat Tanggal 15-16 November 2012 kemarin SXC2 melakukan perjalanan, gowes tentunya, ke Tanjung Lesung. Ini merupakan perjalanan kedua goweser berseragam hijau ke sana. Pertama kali dilakukan pada bulan September 2011 dulu. Sudah lewat setahun. Kali ini kami berusaha agar perjalanan lebih matang dan menginap di sana, walau hanya satu malam. Namun sayang, karena beberapa alasan, seperti acara keluarga dan permasalahan di tempat kerja, banyak goweser yang batal berangkat. Akhirnya, hanya 40 orang yang berangkat ditambah Om Yopie yang walau sedang cedera yang menyebabkan kakinya tidak bisa dipakai gowes, tetapi tetap bersemangat mengawal kami dengan menggunakan mobil sampai tujuan. Lumayan meringankan beban tas dipunggung. Terima kasih banyak, Om! Oh ya, salah, maksudnya 4 orang saja yang berangkat: Saya, Om Dono, Om Agus, dan Om Mars. Namun, ada yang unik. Usul gowes ke Tanjung Lesung dimulai dari kami berempat yang kebetulan satu mobil setiap berangkat-pulang kerja, kemudian diumumkan kepada teman-teman goweser lewat facebook, BBM, ataupun whatsapp. Hasil akhirnya, yang berangkat tetap hanya 4 orang itu yang biasa disebut 4L alias Lu Lagi Lu Lagi. Tak apalah, manusia memang bisa berencana, Allah yang menentukan. Dan, the show must go on.


Pukul 7 lebih beberapa menit kami memulai perjalanan dari tikum di KPP Serang, tentunya setelah berdoa semoga diberikan keselamatan dalam perjalanan sampai tujuan dan sampai kembali lagi ke rumah masing-masing dengan selamat. Jalur yang akan kami lalui adalah Tembong-Pabuaran-Ciomas, Mandalawangi-Jiput-Caringin-Labuan-Panimbang-Tanjung Lesung. Jalur sampai dengan Mandalawangi sendiri pernah kami lalui saat gowes memutari Gunung Karang pada bulan Februari 2012 lalu.
Jalan Raya Palka, Pabuaran terasa membosankan karena kondisi jalan masih hancur di banyak titik. Sementara perbaikan di sana-sini masih belum genap 100%. Saya lihat ternyata ada hikmahnya juga kehancuran jalan akibat penggalian pasir ini. Banyak pihak yang mendapat rezeki. Sebut saja kuli penggalian pasir dan sopir-kernet truk pengangkut. Saat pembetonan jalan, bisa disebut penduduk sekitar dengan kenclengannya yang bertugas buka-tutup jalur, pedagang asongan karena jalanan macet, kontraktor, terus honorarium proyek perbaikan jalan bagi para pelaksana proyek. Kalau masalah fee dan mark-up, saya tidak tahu ada atau tidak.
Setelah melewati lokasi penggalian pasir itu, barulah jalanan lebih manusiawi walaupun kayuhan masih terasa berat karena kontur jalan yang terus menanjak sampai ke pertigaan Ciomas. Om Dono ternyata berprinsip Ing ngarso sung tulodo. Jadi, dia terus menggenjot di depan. Om Mars kali ini tampak tidak normal dengan gowesannya yang lambat di belakang. Selidik punya selidik, ternyata ia belum bertemu Teteh manis. Eh, maksudnya teh manis, karena setelah ketemu, dia jadi lebih ngacir sambil bernyanyi-nyanyi lagu Gugur Bunga versi Oldtimers! Yaah…liburan koq lagunya Gugur Bunga. Tapi lagu ini memang bisa jadi curahan hatinya yang kali ini lebih sering di belakang, “Betapa hatiku tak kan sedih, hamba ditinggal sendiri….”
Gunung Pulosari di belakang
Kondisi Jalan Ciomas-Mandalawangi sekarang lebih bagus dibanding sewaktu perjalanan kami mengelilingi Gunung Karang dulu, karena di beberapa tempat sudah dilapisi beton atau aspal yang mulus. Meski begitu, terdapat satu turunan yang menipu. Semula berlapis aspal mulus, tiba-tiba berganti lapisan tanah dan batu hancur sehingga sepeda harus direm mendadak untuk menghindarinya.
Gunung Aseupan di belakang
Kami juga selalu terpukau dengan pemandangan tiga gunung yang mengelilingi kami, itulah Gunung Karang (1.778 m) , Gunung Pulosari (1.346 m), dan Gunung Aseupan (1.174 m). Kami pun tak ragu untuk berpose sejenak di sana.
Makanan pokok
Tiba di pertigaan Mandalawangi sekitar pukul 11 setelah menempuh jarak sekitar 35 km. Lumayan lelah karena banyaknya tanjakan yang harus kami lalui. Kami putuskan untuk makan siang di RM Reivans dengan menu ikan mas bakar, tempe, lalap, pete, dan sambel. Makanan di sini cukup enak dan murah. Buktinya, selama kami di sana, banyak tamu berdatangan silih berganti. Kami shalat juga di masjid sebuah Pesantren Modern Daar El Falaah yang berada di sebelah rumah makan.
Setelah badan kembali segar, kami lanjutkan perjalanan menuju Jiput kemudian Caringin, Labuan. Menurut cerita teman-teman goweser yang dulu pernah lewat ke sana, ada turunan spektakuler yang curam sehingga kecepatan maksimal sepeda bisa melebihi 70 km/jam. Tampaknya menarik. Kami pernah melewati turunan itu dengan menggunakan mobil tetapi saya yakin sensasinya pasti sangat berbeda dengan menggunakan sepeda. Benar saja, turunan super bonus tadi kami lalui. Namun, banyak hambatan seperti jalanan yang padat sehingga kami harus lebih sering mengerem, maklum menjelang libur panjang, jalur ini juga menjadi jalur alternatif ke pantai Carita. Kondisi saat itu hujan sangat lebat sehingga jarak pandang menjadi pendek. Kami pun menghidupkan lampu-lampu sepeda dan mengganti lensa kacamata menjadi bening. Faktor keberanian melahap turunan juga memengaruhi kecepatan. Sementara, tamparan air hujan di pipi sangat terasa. Dengan kondisi demikian, kecepatan maksimum yang bisa saya dapat hanya sekitar 63,3 km/jam. Speedometer Om Dono tampaknya bisa menunjukkan 70 km/jam lebih. Saya hitung-hitung, jumlah turunan ada 16 buah! dengan elevasi dari ketinggian 487,9 m sampai 33,8 m sejauh 20 km!!! Bonus yang luar biasa. Jadi ingat turunan dari Pasir Peuteuy yang berkelok-kelok sepanjang 10 km dalam versi trek sangat lurus dan dua kali lebih panjang.
Kondisi hujan ini membuat semua peralatan elektronik masuk plastik sehingga tidak ada komunikasi dan foto-foto. Jersey pun sampai kering di badan. Alhamdulillah badan sehat-sehat saja. Dulu pun, sewaktu masih sekolah dan mengikuti kegiatan Pramuka, sering seragamnya kering di badan dan alhamdulillah sehat-sehat juga. Padahal, kalau memakai seragam sekolah atau pakaian kerja seperti sekarang, kalau lupa memakai kaos dalam bisa masuk angin tuh, heheheh…..
Sampai ke pertigaan Caringin, Labuan sekitar pukul 13.30, ternyata cuaca kering. Tidak ada bekas hujan sedikit pun. Untung baju kami juga sudah pada kering tertiup angin. Saya dan Om Agus sempat berpose sebentar di depan Kantor Balai Taman Nasional Ujung Kulon. Baru kesampaian foto sekarang di sana, padahal perjalalan ke Ujung Kulonnya sudah kami lakoni bulan April 2010 lalu. Tahukan anda bahwa dulunya Desa Caringin adalah ibukota Kabupaten Banten Barat. Setelah daerah ini hancur lebur oleh letusan Gunung Krakatau tahun 1883, ibukota dipindahkan ke Pandeglang dan diganti menjadi Kabupaten Pandeglang.
Balai TNUK
Sampai pertigaan Tarogong, Labuan, kami berharap ketemu Om Yopie untuk mengambil beberapa peralatan dan air minum dari mobil. Namun, karena tidak ada, kami lanjutkan lagi perjalanan menyusuri Jalan Raya Labuan-Panimbang menuju Panimbang kemudian Tanjung Lesung, berharap bertemu dia nanti di Panimbang. Di papan penunjuk jalan, Tanjung Lesung masih berada sedekat 30 km lagi. Sengaja tidak saya sebut ‘sejauh’ supaya tersugesti dekat. Padahal kami sudah melahap lebih dari 60 km dari Serang. Sementara, PLTU Labuan tinggal berjarak 1 km saja.
PLTU Labuan
Melewati PLTU Labuan yang berkapasitas 2x300MW, kami mampir sejenak untuk melihat-lihat dan tentunya berfoto. Ini merupakan PLTU ketiga di Banten yang kami lewati, setelah sebelumnya PLTU Suralaya di Merak ketika turun dari Kp. Cipala dan PLTU Lontar di Mauk dalam perjalanan menuju Kepulauan Seribu.
Jalur Jalan Raya Labuan-Panimbang berlapis beton atau aspal mulus, cenderung datar, menyusuri garis pantai tetapi pantainya sendiri tidak tampak karena tertutup rumah-rumah penduduk, rumah makan, dan pepohonan. Sementara, angin dari arah muka sukses menjadi hambatan sehingga kayuhan menjadi berat. Ternyata cerita teman-teman rombongan ke Tanjung Lesung dulu tentang tantangan angin dari depan ini dapat kami rasakan sendiri. Yang aneh, mobil-mobil yang melintas di sini selalu dengan kecepatan tinggi. Apakah mereka sedang mengejar waktu atau dikejar hantu. Entahlah. Akibatnya kami harus gowes tepat di atas garis marka jalan untuk menjaga keselamatan. Persis seperti yang kami lakukan di Jalan Lintas Sumatera pada saat ekspedisi memutar Gunung Rajabasa, Lampung pada bulan Januari 2012 lalu.
Tiba di Panimbang Jaya sekitar pukul 15.20. Om Yopie yang dicari tidak juga ketemu. Ternyata dia berada 5 km di depan kami sambil asyik duduk-duduk di pinggir pantai. Waduh enaknya. Melewati jembatan Panimbang yang akan jadi ‘Lintas Melawai’nya, kami berpose sejenak sambil mengambil nafas, hehehe. Disebut  Lintas Melawai-nya Panimbang karena di sore hari hari, tempat ini menjadi tempat nongkrong para ABG. Beberapa kilometer setelah Pasar Panimbang, Om Mars dan saya sudah keroncongan tapi yang ada hanya sebuah warung yang menjual roti dengan rasa minimalis. Ya sudahlah, daripada lemas menggowes, kami makan juga roti itu. Om Dono dan Om Agus yang menunggu di jembatan berikutnya ternyata ngarep juga. Sayang gak bilang, jadi kami gak bawa sisa-sisa rotinya hehehe…
Akhirnya, di tepi sebuah pantai, kami bertemu juga dengan Om Yopie. Persediaan air minum di mobil kami habiskan sambil foto-foto (terus). Om Dono setiap difoto sibuk membuka jaket dan menunjukkan jersey hijau kebesarannya dengan logo SXC2. Gayanya seperti Clark Kent yang setiap mau bertugas harus membuka bajunya dan menunjukkan kostum kekecilannya yang berlogo S. Disebut kekecilan karena nomor kostumnya Clark Kent kan S. Nah, buat Om Yopie, salah sendiri kalau mengawalnya terlalu jauh, foto-fotonya jadi sedikit tuh, hehehe….
Selanjutnya tiba di Desa Citeureup sekitar pukul 16.30, kami sempatkan mengganjal perut dengan makan bakso. Om Dono sebetulnya ingin mie ayam tapi ternyata habis. Mungkin ia masih teringat-ingat mie ayam di Pulau Untung Jawa yang katanya enak tapi orang lain tidak tahu enak atau tidak karena hanya dia sendiri yang makan. Sampai-sampai ia bertekad untuk mampir demi mie ayam keesokan harinya. Di sini kami juga membeli beberapa makanan ringan untuk ngemil di tempat tujuan.
Tanjung Lesung
Selepas Citeureup, baru terlihat beberapa titik pemandangan indah pinggir pantai yang kami nikmati dari atas sepeda. Jalan super mulus. Di beberapa tempat, homestay-homestay sudah mulai menjamur. Bagus juga menjadi alternatif tempat menginap karena tingginya harga penginapan di Tanjung Lesung.
Tanjung Lesung! Sekitar pukul 17.30 kami memasuki gerbang Kawasan Wisata Tanjung Lesung. Tidak perlu saya ceritakan panjang lebar mengenai kawasan ini karena hampir semua orang sudah mengetahuinya. Tapi, secara umum ada dua persepsi orang tentangnya, yaitu jauh dan mahal. Jauh iya karena dari Serang saja jaraknya mencapai hampir 100 km. Kalau dari Jakarta tentunya akan dua kali lebih jauh. Mahal iya juga, coba saja cek harga di beberapa laman. Tapi, hebatnya kawasan ini tetap penuh. Bahkan, ketika kami kunjungi saat libur panjang kali ini, seluruh villa sudah dipesan penuh sampai dengan hari Minggu.
Beach Camp
Kami pun mendapatkan tempat yang lebih murah yaitu menginap di tenda di beach camp di kawasan Tanjung Lesung Beach Club dengan paket seharga Rp 250.000 per orang. Setelah mendapat potongan harga, jadi berkurang Rp 50.000 karena tidak memanfaatkan voucher aktivitas olahraga air. Tenda doom yang kami tempati masing-masing berdua sebenarnya bisa diisi sampai dengan tiga orang. Terasa nyaman dengan kasur empuk walaupun terasa agak panas. Harga paket di atas sudah termasuk sarapan, air, kopi, teh, toilet, karaoke, musola, dll. Oh ya, kamar bilasnya berada di langit terbuka lho. Bagaimana kalau hujan ya, hehehe? Menurut kami, harga segitu sudah layaklah untuk beristirahat setelah seharian gowes. Di tempat ini juga terdapat banyak fasilitas olahraga air seperti snorkling, boat, jet ski, dan lain-lain. Kami sendiri tidak sempat melakukan aktifitas itu karena harus buru-buru gowes balik ke Serang.
Tanjung Lesung Beach Club
Tidak ada acara khusus yang kami siapkan untuk malam harinya, apalagi kalau cuma 4 orang, kecuali nyebur di pinggir pantai malam-malam, makan malam, ngemil, dan foto-foto tentunya. Jadinya kami ngobrol ngalor-ngidul saja sambil ngemil di pinggir pantai sambil menghindari rombongan lain yang sedang berkaraoke-ria sambil menyiksa telinga pendengarnya. Kami sebetulnya juga gak jago-jago amat menyanyi, tapi kami sedikit bisa membedakan mana yang enak didengar, mana yang menyiksa telinga, hehehe. Sebetulnya tadinya kami akan melakukan pemilihan pengurus baru, tapi yang kuorum malah yang absen.
Gugur Bunga
Akhirnya, sekitar pukul 23, mata sudah terasa berat dan berair, sudah saatnya untuk merebahkan badan dan memersiapkan badan untuk gowes esok harinya. Hari yang luar biasa!
Profil GPS Serang-Tanjung Lesung
Profil GPS menunjukkan data perjalanan dari tikum sampai Tanjung Lesung sebagai berikut:
Trip odometer 98,7 km; Max Speed 63,3 km/jam; Moving time 6 jam 49 menit; Moving average 14,4 km/jam; Total time 11 jam 17 menit. 
HARI KEDUA: TOUR DE TANJUNG LESUNG
Alhamdulillah, setelah tidur semalam, lumayan mengembalikan stamina tubuh kami dan siap untuk melanjutkan aktivitas. Anggota tenda nomor 1 tidur nyenyak karena sama-sama tertidur tenang. Sementara, di tenda sebelah, saking nyenyaknya tidur, ada yang ngorok sepanjang malam, hehehe…. Om Agus bisa tidur nyenyak tidak tuh? Hehehe…
Tanjung Lesung Beach Resort
Jetty
Aktivitas kami pagi itu dimulai dari berfoto-foto di area jetty, kemudian bersepeda mengelilingi kawasan Tanjung Lesung dari Beach Camp menuju Tanjung Lesung Beach Resort dan Kalicaa Villa yang lebih bernuansa Bali. Memang benar, hampir semua resor dan villa sudah terisi.
Tanjung Lesung Beach Camp
Selanjutnya kami sarapan sambil membayangkan beratnya perjalanan pulang. Kalau kemarin, perjalanan menuju ke lokasi semakin lama semakin dingin karena menjelang magrib. Sekarang, semakin lama akan semakin panas karena semakin siang. Apa mau dikata, harus kami lalui fase itu, hehehe….
Setelah mandi dan sudah pada ganteng, tas-tas punggung dan sepeda sudah siap, kami mulai lagi gowes balik ke arah Labuan sekitar pukul 9.30, dengan harapan cuaca mendung dan tidak panas. Bismillah.
Tidak banyak cerita dalam perjalanan pulang. Semua berkonsentrasi menjaga ritme gowesan agar mencapai kecepatan ideal sehingga tidak mudah lelah dan tahan lama.
Sampai Desa Citeureup, Om Dono yang semula berniat membeli mie ayam yang belum kesampaian hari sebelumnya, batal karena sesudah sarapan, ditutup dengan hidangan roti sobek, hehehe…. Tampaknya masih kekenyangan. Apalagi untuk mencapai Citeureup dari Tanjung Lesung hanya setengah jam saja. Jadilah, kami terus gowes sampai Panimbang sampai sekitar pukul 11. Cuaca sangat panas sehingga kami dengan senang hati mampir sejenak di tukang sop buah. Segar. Tamboah cie, Pak!
Perjalanan selanjutnya menuju simpangan Tarogong, Labuan. Cuaca semakin panas. Harapan agar mendung dan udara sedikit sejuk tinggal harapan. Kami kuat-kuatkan saja gowes sampai tujuan. Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga di Labuan sekitar pukul 13.
Profil GPS Tanjung Lesung-Labuan
Profil GPS menunjukkan data perjalanan dari Tanjung Lesung sampai Labuan sebagai berikut:
Trip odometer 34,3 km; Max Speed 38,8 km/jam; Moving time 2 jam 10 menit; Moving average 15,7 km/jam; Total time 3 jam 19 menit.
Profil Peta Tikum-PLTU Labuan
Profil Peta PLTU Labuan-Tanjung Lesung
Profil Peta Tanjung Lesung-Labuan